Belajar dari Kevin Carter: Penghakiman Publik di Balik Foto Ikonik -->

IKLAN 970 X 90 PX

Belajar dari Kevin Carter: Penghakiman Publik di Balik Foto Ikonik

Siar Kita
18/11/2025

Kevin Carter dan Foto Ikonik
Kevin Carter, fotografer di balik lensa yang memenangkan Pulitzer namun berakhir tragis.


Kita semua mungkin pernah melihat foto ikonik itu setidaknya sekali seumur hidup.

Sebuah dataran gersang di Sudan. Seorang balita yang tinggal tulang berbalut kulit tersungkur ke tanah karena kelelahan dan kelaparan. Di belakangnya, hanya beberapa meter jauhnya, seekor burung nasar (vulture) berdiri tegap, menatap anak itu, menunggu saat kematiannya tiba.

Foto itu begitu mengerikan sekaligus begitu indah secara teknis. Foto itu memenangkan Pulitzer Prize, penghargaan tertinggi dalam dunia jurnalistik pada tahun 1994.

Namun, di balik bingkai emas penghargaan itu, ada kisah tragis tentang sang fotografer, Kevin Carter, yang membayar kesuksesan itu dengan nyawanya.

Momen di Ayod, Sudan (1993)

Pada bulan Maret 1993, Kevin Carter melakukan perjalanan ke Sudan untuk meliput bencana kelaparan yang sedang melanda negara itu. Di desa Ayod, dia mendengar suara rintihan lemah.

Dia menemukan seorang anak kecil (belakangan diketahui laki-laki bernama Kong Nyong) yang sedang mencoba merangkak menuju pusat pembagian makanan PBB. Anak itu berhenti untuk beristirahat karena terlalu lemah.

Saat itulah, seekor burung nasar mendarat di belakangnya. Sebagai jurnalis foto profesional, naluri Kevin bekerja. Dia menunggu sekitar 20 menit, berharap burung itu akan merentangkan sayapnya untuk mendapatkan shot yang lebih dramatis. Itu tidak terjadi. Akhirnya, Kevin mengambil foto tersebut, lalu mengusir burung itu pergi.

Kevin kemudian duduk di bawah pohon, menyalakan rokok, dan menangis. Dia terus menyebut nama Tuhan dan nama putrinya. Dia baru saja melihat wajah terburuk dari penderitaan manusia.

Penghargaan yang Berubah Menjadi Kutukan

Ketika foto itu diterbitkan oleh The New York Times, dunia gempar. Ribuan orang menghubungi surat kabar tersebut, bertanya: "Apakah anak itu selamat?"

Kevin jujur mengatakan bahwa dia mengusir burungnya, tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi pada anak itu setelahnya karena dia harus segera pergi mengejar pesawat.

Simpati publik dengan cepat berubah menjadi kemarahan. Sebuah opini di St. Petersburg Times menulis kalimat yang akan menghantui Kevin seumur hidupnya. Kutipan ini sangat menyakitkan:

"Pria yang menyetel lensanya untuk mengambil foto penderitaan anak itu adalah predator lain, burung nasar kedua di tempat kejadian."

Dunia menghakiminya. Mereka bertanya kenapa dia tidak menggendong anak itu? Kenapa dia malah memotret?

Publik lupa (atau tidak tahu) bahwa jurnalis di zona tersebut dilarang keras menyentuh korban kelaparan karena risiko penularan penyakit menular yang tinggi. Publik juga lupa bahwa tugas jurnalis adalah merekam kebenaran agar dunia tahu, bukan semata-mata menjadi pekerja sosial.

Akhir yang Tragis

Tekanan batin itu terlalu berat. Kevin dihantui oleh apa yang dia lihat di Sudan, ditambah lagi dengan kematian sahabat dekatnya, Ken Oosterbroek, yang tertembak saat meliput kerusuhan.

Pada 27 Juli 1994, hanya tiga bulan setelah menerima Piala Pulitzer di New York, Kevin Carter mengemudikan truk pikapnya ke sebuah lapangan tempat dia biasa bermain saat kecil.

Dia menghubungkan selang ke knalpot mobil dan mengalirkan asapnya ke dalam kabin. Dia meninggal karena keracunan karbon monoksida pada usia 33 tahun. Dia meninggalkan sebuah catatan yang menyayat hati:

"Aku benar-benar tertekan... Aku dihantui kenangan yang jelas tentang pembunuhan, mayat, kemarahan, dan rasa sakit... tentang anak-anak yang kelaparan dan terluka, tentang orang-orang gila yang menarik pelatuk, sering kali polisi, atau para algojo..."

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Kisah Kevin Carter adalah pengingat keras bagi kita pada era media sosial ini. Sangat mudah bagi kita untuk mengetik komentar menghakimi, menyebut seseorang "jahat" atau "tidak punya hati" hanya dari satu potongan cerita.

Kita menyebut Kevin "burung nasar", padahal hatinya hancur lebur melihat penderitaan itu setiap hari—kehancuran yang akhirnya merenggut nyawanya sendiri.

Mari belajar untuk menunda penghakiman dan memperluas empati. Kita tidak pernah benar-benar tahu beban apa yang sedang dipikul seseorang di balik senyum atau karyanya.