Dunia modern sering ditandai polarisasi. Fenomena ini terlihat jelas dalam pembagian "kita" versus "mereka", "benar" versus "salah", atau "hitam" versus "putih".
Kondisi ini sering kali menghambat diskusi publik. Berbagai perdebatan sulit menemukan titik temu atau solusi yang konstruktif.
Sebuah pertanyaan muncul: Bagaimana jika masalahnya ada pada cara pandang kita? Mungkin, cara kita melihat "batas" selama ini perlu ditinjau ulang.
Konsep Filsafat Perbatasan
Raviyanto, pencipta gagasan ini, menawarkan sebuah perspektif baru. Dia mengidentifikasi akar masalahnya.
"Kita memandang batas itu selama ini sebagai 'versus' atau lawan," jelas Raviyanto.
Dia melanjutkan, "Batas tidak dilihat sebagai penghubung. Batas tidak dianggap sebagai ruang dialog."
Menurutnya, ini adalah kesalahan mendasar. Raviyanto menawarkan ide untuk mengubah kata "lawan" menjadi "dan".
"Jadi," tegasnya, "kita menciptakan ruang bersama di sini."
Gagasan inilah yang dia sebut sebagai Filsafat Perbatasan. Ini adalah sebuah cara pandang yang melihat batas bukan sebagai pemisah, melainkan sebagai titik pertemuan.
Alat Bantu: Logika Konduktif
Filsafat Perbatasan didukung sebuah alat berpikir yang disebut Logika Konduktif.
Kami bertanya pada Raviyanto mengenai arti "konduktif" dalam konteks ini.
"Kata konduktif di sini berarti 'bersama' atau 'berimbang'," jawabnya. "Dengan logika konduktif kita bisa berdialog bersama dan berimbang."
Logika ini beroperasi di luar kerangka "benar atau salah". Tujuannya adalah menciptakan keterbukaan dan kejelasan dalam berbahasa.
Raviyanto memberikan sebuah analogi.
"Katakanlah si A memiliki jalan A yang menuju ke Selatan. Si A mengatakan bahwa jalan A menuju ke surga," paparnya. "Lalu, si B memiliki jalan B yang menuju ke Utara. Si B juga mengatakan bahwa jalan B menuju ke surga."
Dalam logika konvensional, diskusi bisa terhenti pada siapa yang benar. Logika Konduktif melihatnya secara berbeda.
"Keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu surga. Tetapi mereka menempuhnya dengan cara dan jalan yang berbeda," jelas Raviyanto.
Namun, dia menekankan satu hal penting. "Ingat, yang kita bicarakan adalah tujuan yang sama, bukan jalan yang berbeda."
Dia menambahkan bahwa validasinya ada pada hasil. "Jika jalan yang kita tempuh memang mencapai tujuannya, di situlah muncul 'kebenaran' tujuan."
"Artinya," simpulnya, "kita tidak berbohong pada tujuan kita."
Aplikasi pada Evaluasi Kebijakan
Gagasan ini dapat diaplikasikan dalam konteks nyata. Misalnya, dalam evaluasi kebijakan publik yang sering menjadi perdebatan.
Debat publik sering kali fokus pada "Jalan A" versus "Jalan B". Masing-masing pihak merasa metodenya paling superior.
Logika Konduktif menggeser fokus tersebut.
Pertama, logika ini mengajak kita untuk mengidentifikasi "tujuan bersama". Apakah itu menyejahterakan rakyat? Atau mengurangi kemacetan?
Setelah itu, Logika Konduktif digunakan sebagai alat evaluasi berbasis data.
Raviyanto menjelaskan langkahnya. "Kalau kita sudah punya fondasi yang benar, kita dapat melihat apakah kebijakan publik itu telah berhasil mencapai tujuannya atau gagal?"
Pergeseran ini mengubah fokus. Diskusi tidak lagi tentang "siapa benar", tetapi tentang "apa buktinya".
Kesimpulan: Fokus pada Hasil
Filsafat Perbatasan dan Logika Konduktif pada intinya adalah ajakan untuk menggeser fokus.
Raviyanto menutup diskusi dengan pesan yang jelas.
"Mari kita befokus pada tujuan kita, bukan pada cara," ajaknya. "Jalan atau cara kita bisa berbeda, tetapi tujuan kita sama."
Dia memberi contoh pada level ideologi. "Ideologi A bertujuan menyejahterakan warganya. Ideologi B juga bertujuan menyejahterakan warganya."
Lantas, bagaimana menilainya? "Bila kedua ideologi itu bisa mencapai tujuannya, kedua ideologi itu benar," tegas Raviyanto. "Jadi kebenaran bisa kita lihat pada hasil akhirnya."
"Sebelum itu terbukti berhasil atau tidak," lanjutnya, "kita tidak perlu berdebat apakah jalan kita benar atau salah."
Pada akhirnya, ini adalah soal objektivitas pada data. "Jadi," simpulnya, "kita lihat berdasarkan peta, apakah tujuan kita tercapai atau gagal."
